Oleh karenanya, pengembangan diri akan terhambat jika tidak didasarkan pada bakat alami. Kita melihat begitu banyak orang belum mampu membaca bakatnya karena terhalang dari pola asuhan monoton yang tidak membuat dirinya berkembang.
Sebagai contoh gaya belajar. Seseorang dengan bakat bawaan gaya belajar auditori bisa jadi kurang memiliki skill auditori yang berkembang bila dia diasuh, dibesarkan, dilatih, dan dikondisikan dengan cara-cara orang visual. Namun kalau saja dia mencoba belajar sebagaimana gaya belajar orang auditori atau apapun yang sesuai bakatnya, maka dia pasti akan bisa lebih berkembang dan melesat di sana.
Kembali pada pertanyaan, bisakah bakat bisa berubah? Bisa saja, asal yang bersangkutan melakukan intervensi secara efektif.
Namun kemudian juga ada pertanyaan susulan, “Sejak awal, untuk apa mengubah bakat?” Karena yang disebut dengan bakat adalah aktivitas yang secara intrinsik memunculkan kepuasan (satisfaction and sense of fulfillment). Dengan mengubah bakat, apakah artinya melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan kehendak diri, yang relatif lebih susah untuk dilatih, dan tidak mendatangkan kepuasan batin saat sedang dan rampung menjalaninya melainkan mengandalkan stimulan/dorongan/motivasi dari luar?
Jika Anda begitu kagum dengan Sule (pelawak), dengan Bambang Pamungkas (pemain bola), bila bakat alami Anda tidak mengarahk ke kompetensi mereka berdua, apakah kemudian Anda akan memaksakan diri untuk menjadi seperti mereka? Untuk apa? Apakah Anda menikmati dalam proses menjalaninya?
Apapun, akhirnya pilihan pengembangan bakat ini kembali pada pribadi orang per orang. Adanya pembacaan sidik jari tidaklah bermaksud untuk memberi dakwaan kaku atas bagaimana seseorang hendak menjalani hidupnya. Misi kami di JaPo sederhana, “Inilah bakat alamimu. Jika engkau berkembang dengan mengoptimalkan ini, jalanmu akan lebih mudah dan enak bagimu. Tapi bagaimana kamu hendak mengatur hidupmu, sidik jarimu bukanlah tercipta untuk mendikte keputusanmu.”
Demikian 🙂